Catatan Perjalanan :
Keliling
Setengah Amerika
6.
Kelok Twin Falls Yang Memabukkan
Hari masih agak
pagi ketika kami meninggalkan kota Pikeville selepas jam 9:00.
Hari ini hari ketiga, Senin tanggal 3 Juli 2000, kami
merencanakan untuk mencapai kota Wheaton di negara bagian
Maryland yang terletak di sebelah utara ibukota Washington DC.
Jarak yang mesti kami tempuh hari ini cukup jauh, sekitar 511 mil
(atau sekitar 818 km), akibat dari ketertinggalan jarak tempuh
sejak dua hari sebelumnya.
Di saat pagi hari
ini kami baru melihat lebih jelas bahwa kota kecil berpenduduk
sekitar 6.300 jiwa ini terletak di celah-celah perbukitan. Untuk
pengembangan kotanya, masih terlihat di sana-sini bekas pekerjaan
pemindahan tanah dengan memotong lereng-lereng bukit. Dari kota
ini kami melaju ke arah timur laut, dan kota Williamson di
perbatasan antara negara bagian Kentucky dan West Virginia adalah
kota berikutnya yang kami tuju.
Kota Williamson
yang berpopulasi sekitar 4.200 jiwa ini dikenal karena adanya
lembah Tug yang mempunyai banyak ladang batubara. Di kota ini
saya membelok ke arah timur ke jalan Highway 52, dan memasuki
wilayah negara bagian West Virginia yang ibukotanya ada di
Charleston. Negara bagian ini mempunyai nama julukan sebagai
Mountain State dan ini adalah negara bagian kesepuluh
yang saya lintasi.
Rute jalan ini
banyak melalui kota-kota kecil yang nampak sepi, diantaranya
Vaney, Mountain View dan Gilbert yang berpopulasi hanya sekitar
2.000 3.000 jiwa. Namun yang mengherankan ternyata di sana
ada toko agen kendaraan (dealer mobil) dan terlihat mobil-mobil
baru Ford berjejer di depan toko. Entah siapa pembelinya.
Pertanyaan ini timbul karena sepintas saya melihat kota ini tidak
terlalu padat dan tidak juga tampak sibuk dengan aktifitas
bisnis.
Dari peta
terlihat bahwa perjalanan kami pagi itu masih akan terus melalui
rute-rute sepi yang cukup panjang, jalan sempit dan
berkelok-kelok, melewati beberapa kota kecil serta menerobos
beberapa jalan State Road guna memperpendek jarak. Oleh karena
itu selain menyiapkan peta agar mudah dilihat setiap saat, saya
juga mesti memperhatikan rambu petunjuk jalan agar tidak
kebablasan saat harus membelok di persimpangan jalan.
Mengikuti
jalan-jalan di Amerika sebenarnya tidak terlalu sulit. Pada
umumnya setiap jenis jalan mempunyai nomor, bahkan terkadang
jalan kerikil atau tanah tak beraspal sekalipun. Pada setiap
jarak tertentu akan terpasang rambu nomor jalan serta arahnya,
selain rambu batas kecepatan.
Sebagai contoh,
misalnya pada jalan yang membentang arah timur barat, maka
kalau saya menuju ke timur pada setiap jarak tertentu saya akan
melihat rambu nomor jalan dengan tulisan East,
demikian sebaliknya. Di setiap persimpangan jalan juga akan
terpasang rambu yang menunjukkan nomor dan arahnya masing-masing.
Dengan demikian
sepanjang saya bisa membaca peta dan tahu arah, rasanya tidak
akan kesasar kalau saya jeli melihat rambu-rambu. Itu sebabnya
dalam perjalanan ini saya sengaja membawa peta sekomplit mungkin
dan melengkapi kendaraan dengan kompas. Jika sewaktu-waktu
perubahan rute perlu dilakukan, maka akan memudahkan saya untuk
mencari jalan alternatif serta memperkirakan jarak tempuhnya
karena di peta yang saya bawa juga tertulis jarak antara setiap
persimpangan dan antara kota.
***
Setiap pagi
sebelum saya memulai perjalanan, semua peta dan buku panduan
wisata untuk daerah-daerah yang akan saya lalui selalu saya
siapkan di sebelah kanan dan kiri tempat duduk. Bahkan karena
ibunya anak-anak kurang berpengalaman dalam urusan perpetaan
(maklum, karena tidak pernah ikut kuliah Perpetaan) maka saya
terpaksa berdwi-fungsi : ya sopir, ya navigator. Karena itu
seringkali jika menjelang tiba di daerah-daerah yang agak rumit
rute jalannya, peta-peta itu sudah saya lipat sedemikian rupa
lalu saya letakkan di atas pangkuan sehingga bisa sambil nyopir
sambil sesekali melirik peta.
Saya sangat sadar
bahwa ini memang tindakan yang tidak aman dan tidak seharusnya
saya lakukan karena terlalu riskan, terutama jika berada di
kawasan yang lalu lintasnya padat dan cepat. Kalau sudah demikian
biasanya saya tidak mau diajak ngomong karena khawatir
konsentrasi terganggu. Anak-anak pun biasanya memahami hal ini.
Resiko semacam ini terkadang saya ambil demi tidak mau kehilangan
waktu untuk berhenti membuka-buka peta, selain karena memang
tidak diperbolehkan berhenti di sembarang tempat.
Untuk menghindari
hal ini apalagi jika di saat hari sudah gelap, seringkali rute
jalan yang akan saya lalui lebih dahulu sudah saya hafalkan di
luar kepala, termasuk nama jalan, arah, jumlah persimpangan dan
tanda-tanda fisik seperti yang biasanya ada dalam peta situasi.
Layaknya siswa SMP yang sedang belajar peta buta. Dalam hal ini
kompas yang terpasang di mobil sangat membantu saya dalam
bernavigasi. Kebiasaan ini terutama saya lakukan ketika masuk ke
jalan-jalan di dalam kota.
Demikian
pula karakteristik sistem berlalu lintas selalu menjadi observasi
saya setiap kali masuk ke sebuah kota. Pada umumnya setiap kota
mempunyai sistem lalu lintas yang sama, tetapi seringkali setiap
kota mempunyai karakteristik untuk tanda-tanda tertentu yang
mudah diingat, selain rambu lalu lintas yang memang standard.
Seperti misalnya warna dan bentuk tulisan, penggunaan kata-kata
tertentu, lokasi pemasangannya, dsb. Ternyata ini memang
menguntungkan dan sangat membantu untuk beradaptasi dalam
berlalu-lintas di kota itu.
***
Setiba
di pertigaan di kota Gilbert, dari Highway 52 saya berbelok ke
utara ke State Road (SR) 80, selanjutnya belok ke timur ke SR 10,
dan belok lagi ke arah timur laut ke SR 16, hingga masuk ke
Interstate 77 di sisi barat kota Beckley. Rute panjang sejak kota
Williamson hingga Beckley sejauh 115 mil (sekitar 184 km) adalah
jalur melalui lereng dan celah perbukitan. Rute jalannya cukup
enak dan teduh karena melewati daerah pedesaan Amerika yang
rimbun dengan pepohonan.
Melewati
kota-kota kecil yang sepi, yang terkadang nyaris tampak seperti
kota tak berpenghuni. Badan jalannya sendiri sebenarnya tidak
terlalu lebar, berkelok-kelok tajam, terutama saat menyisir
lereng selatan di perbukitan kawasan hutan lindung Twin Falls.
Enaknya, meskipun
sudah ada rambu batas kecepatan maksimum, pada setiap tikungan
tajam selalu ada rambu bantu batas kecepatan yang dianjurkan.
Maka kalaupun mau mencuri kecepatan, dari jauh sudah bisa
memperkiraan kira-kira mau mencuri berapa km/jam agar
laju kendaraan masih aman dan terkendali saat memasuki tikungan.
Mengemudi menjadi lebih enak karena umumnya setiap pengemudi
patuh terhadap rambu lalulintas.
Betapapun
kendaraan beriringan panjang dan yang paling depan berjalan
lambat misalnya, kalau di bagian tengah aspal jalan masih
bertanda garis penuh warna kuning, maka tidak satupun ada yang
berusaha menyalip. Tetapi begitu garis kuning pemisah lajur
berubah menjadi garis putus-putus, maka mulailah kendaraan yang
lebih cepat berusaha menyalip.
Saya
jadi ingat kejadian beberapa tahun yang lalu, ketika sopir
bis-bis jurusan Malang Surabaya mutung (ngambek),
mogok narik penumpang gara-gara Pak Pilisi menerapkan aturan soal
garis kuning pemisah lajur ini. Akhirnya, Pak Polisi yang
kemudian mengalah, dan garis kuning tetap ada di sana, tidak
dihapus. Lha ya siapa yang mau menghapus cat kuning di
tengah jalan antara Malang dan Surabaya. Jadi? Aturan
berlalu-lintas dibuat dan tidak untuk dipatuhi?. Saya percaya ini
hanya kasus, dan tentunya tidak dapat untuk menggeneralisir.
***
Melaju dengan
kecepatan antara 45-55 mil/jam (sekitar 72-88 km/jam), melewati
tikungan-tikungan tajam memang cukup mengasyikkan. Badan pun ikut
meliuk-liuk berlawanan arah dengan gerakan kendaraan. Awalnya
menyenangkan, tapi lama-lama anak-anak mulai protes karena
duduknya jadi tidak nyaman. Semakin lama anak-anak mulai tidak
terdengar suaranya, dan saya merasa semakin menikmati
liukan-liukan menyusuri rute berkelok-kelok. Sekitar dua setengah
jam saya habiskan melalui rute ini, hingga mendekati kota
Beckley.
Menjelang masuk
kota Beckley, anak laki-laki saya yang berumur 7 tahun mengeluh
perutnya mual dan sakit. Wah, barulah saya sadar. Pantesan sejak
tadi tidak ada suaranya, pasti karena menahan rasa tidak enak di
perutnya. Rupanya mabuk kendaraan akibat jalan yang meliuk-liuk
tadi. Tanpa pikir panjang, begitu terlihat ada warung McDonald,
langsung saja belok dan parkir. Saat itu juga anak saya membuka
pintu mobil, dan
semua isi perutnya dimuntahkan.
Bekal minyak kayu putih pun segera difungsikan. Asli lho
.,
sisa dari membeli di pasar Sentul Yogya dua tahun yang lalu.
Kami lalu
beristirahat agak lama di daerah ini, sekalian makan siang dan
mengendurkan otot-otot kaki yang tegang sejak dua setengah jam
tadi bermain gas dan rem, tanpa kopling dan persneling. Seperti
umumnya mobil di Amerika yang menggunakan sistem pemindah gigi
otomatis. Barangkali disesuaikan dengan kebutuhan orang Amerika
yang ingin serba praktis dan tidak suka repot. Kalau memang
memudahkan, kenapa tidak?- (Bersambung)
Yusuf Iskandar